Catatan kecil. (Spesial SQ bagian 14).
__
Saya sempat menyapu pandang pada jam dinding besar, yang terpasang di atas kusen pintu ruang utama Ngloji.
“Ahh … Masih belum terlalu malam kok”, batin saya.
“Tapi, mengapa beberapa tim IT dan kordes yang perempuan, nampak sudah mulai berkemas kemas ?”, batin saya.
Saya terkecoh.
Rupanya, jam dinding besar itu lebih lambat 30 menit dari yang semestinya.
Berarti saat ini sudah jam 22.30. Waktu yang cukup larut buat teman teman perempuan itu. Satu per satu, mereka pamit. Undur diri.
Sementara itu, di ruang sayap Utara, para senior kordes itu masih setia di tempat. Menunggu para saksi menyerahkan. salinan C1 hasil. Namun, itu hanya beberapa saat saja. Sesaat kemudian, bapak bapak itu juga undur diri.
Berkas salinan C1 yang diserahkan oleh saksi, kemudian diserahterimakan kepada Kordes yang lebih muda.
Tiba tiba, muncullah Mbak Handayani. Saksi Syauqi dari TPS Botokan. Rupanya, dia diantar oleh Sang Suami, Mas Murjono. Menyerahkan salinan C1 hasil.
Pak Satidjo, melalui group SQ Sendangarum, memutuskan untuk membawa pulang berkasnya. Dan bersedia menerima penyerahan berkas di kediamannya, besok hari.
Demikian pula dengan Pak Wagiyo, untuk yang Sendangsari.
Jadi, praktis tinggal yang Sendangrejo, Sendangagung dan Sendangmulyo yang masih menerima penyerahan berkas salinan C1.
Sesaat kemudian, semua tim IT dan kordes juga undur diri. Tinggal Mas Fathan yang bertahan. Itupun tidak lama, sesaat kemudian, iapun undur diri. Semua berkas salinan C1 hasil diserahkan ke saya.
Saya sempat kembali melirik jam dinding itu.
Pukul : 11.00 malam.
Ups, salah. Harus ditambah 30 menit.
Berarti, pukul : 11.30 malam.
Malam merangkak pelan. Sepi. Sunyi. Semua bunyi telah sembunyi.
Hanya tinggal 3 orang yang sekilas masih terlihat. Ada Mas Sunu dan Pak Samija. Serta satu orang lagi, entah siapa. Tidak begitu jelas. Pak Samija adalah saksi Syauqi di TPS 03 Sendangarum.
Tiba tiba, datanglah seorang saksi perempuan. Dari TPS Sendangagung. Saya pikir, dia sendirian. Ternyata, diantar ibunya.
Saya harus bertahan 30 menit lagi.
Group saksi SQ sudah sepi. Sudah tidak ada lagi komentar.
Akhirnya, jam dinding itu menunjuk : 11.30
Itu artinya : pukul 00.00.
Saya mulai berkemas kemas. Mas Sunu dan Pak Samija membantu menutup semua jendela dan pintu Ngloji. Serta membersihkan sisa makanan dan wadah makan dan minum yang berserak di sana sini.
Tepat 00.10. Saya dan Pak Samija undur dirii. Sedangkan Mas Sunu masih bertahan di Ngloji. Ada satu orang lagi, yang masih ada di ruang LazisMu. Tapi tidak jelas, siapa ia. Seingat saya, sedari tadi, ia hanya tidur di kursi ruang LazisMu.
“Aku balik sik ya Mas !?”, kata saya.
“Ya wis ati ati !”, jawab Mas Sunu.
“Ora bali pa ?”, tanya saya.
“Ya sik. Dela engkas !”, jawabnya.
Sayapun segera memacu motor. Otw. “Ngalup nyang hamur”.
Begitu sampai di rumah,
“Weh, jam pira marine TPS kene mau ?”, tanya saya ke istri saya.
“Baru saja selesai. Tas wae lungguh iki”, jawabnya.
Ketika baru saja saya duduk, tiba-tiba, HP saya bergetar. Ada panggilan masuk. Nomer yang tak dikenal.
“Hallo… Assalammu ‘alaikum. Mas Dwi”.
“Wa alaikum slm wrwb. Sinten nggih niki ?”, tanya saya.
“Kula Rochmani Mas”.
“Pripun Pak Rochmani ?”.
“Kok jarene Ngloji mpun tutup nggih ? “, katanya.
“Nggih Pak. Niki sesuai kesepakatan wau. Justru usule saking beberapa saksi. Terus dirembug kalih tim TPC SQ. Lajeng diputuske penerimaan salinan C1 ngantos jam 00.00. Mulane, wau Ngloji mpun ditutup. Dilajengje besok pagi”, jelas saya.
“Wah pripun nek ngoten niku ?”, katanya.
“Lhoh Pak. Nyuwun sewu. Niki sing mutuske sanes kula piyambak lho. Niki wau sampun disepakati kalih sedaya anggota tim TPC. Usulane malah saking beberapa saksi”, terang saya.
“Wah, kudune nggih nunggu saksi. Ampun tutup riyin. Lha niki kula tasih teng TPS. Njenengan wis bali. Kudune rak ya sithik edhing ngoten lho”, sambungnya..
Begitu mendengar kalimat terakhir dari Pak Rochmani itu, saya langsung berdiri. Rasa kantuk saya langsung hilang.
Saya langsung membalas Pak Rochmani : ” Sudah pak. Gini aja. Njenengan jam berapa akan nyerahkan salinan C1 ?”.
“Nggih paling setengah jam an malih Mas !”, katanya.
“Nggih pun. Kula tengga teng Ngloji !”, tegas saya.
Saya langsung ingat Mas Sunu. Saya menghubunginya :
“Hallo … Mas Sekjend apakah masih posisi di Ngloji ?”.
“Masih …!. Piye …?”, katanya.
“Tolong, lawange Ngloji dibuka !. Aku arep mrono maneh !”, kata saya.
Saya lalu bergegas mengambil tas berisi berkas berkas salinan C1. Mengambil kunci motor. Lalu bergegas keluar.
Tiba tiba, saya ingat anak mbarep saya. Yang jadi saksi SQ di TPS 07 Sembuhan Kidul.
“Fadhli wis mulih tah ?” tanya saya kepada istri saya.
“Durung !. Kasihan anak itu. Mbok nanti ditiliki !”, sambungnya.
Sebelum meluncur ke Ngloji, saya sempat membuat pengumuman di Group saksi SQ Minggir.
“NGLOJI DI BUKA LAGI. 24 JAM”.
Sayapun segera memacu motor. Kembali ke Wisma Ngloji.
Nampak, Mas Sunu masih ada di sana. Seseorang yang sedari tadi tidur di kursi Lazis, juga masih ada di sana. Masih tidur.
Begitu saya masuk ruangan Lazis, ia terbangun.
Beberapa saat kemudian, ada suara motor berhenti di halaman Ngloji. Dua orang anak muda masuk. Menyerahkan salinan C1 hasil.
Saksi dari TPS Sendangagung.
Tiba-tiba, seseorang yang sedari tadi tidur dan kemudian bangun itu, nampak duduk di kursi. Lalu berkata :
“Kudune, nek pas ana acara kaya ngene iki, panitia kudu sigap. Kantor ora oleh tutup. Buka 24 jam”.
Saya cuma mendengarkannya,
Ia masih berkata lagi :
“Blaaa …. Blaaa ….Blaaa …”.
Saya mulai terpancing :
“He ….Mas …. Sampeyan iki gak ngerti kenthang kimpule. Dadi gak usah melok melok !”.
(*)
Minggir, 25 Feb. 2024.
Waktu hujan lebat, sebelum Ashar.
Uwik DS.